Salah satu tantangan terbesar bagi aparat hukum dan penyidik suatu kasus adalah menjaga objektivitas. Sebab, sentimen terhadap orang yang diusut sangat potensial menyeret mereka menjustifikasi perkara secara berlebihan.
Objektivitas merupakan sesuatu pendapat-pendapat atau persepsi berdasarkan kenyataan objektif (berdiri sendiri) yang bisa diukur dan ada di luar persepsi manusia. Objektivitas dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah (empiris) sebuah objek yang sedang diteliti/ dipelajari dengan suatu cara di mana tidak tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya (objektif).
Menjaga Objektivitas
Allah SWT mengingatkan,
“Janganlah kebencian kalian kepada sekelompok orang, mendorong kalian berlaku tidak adil.” (QS. Al-Maidah [5]: 8).
Menurut Imam al-Razi, ayat tersebut merupakan platform bahwa siapa pun yang memikul mandat untuk menyelesaikan suatu kasus, hendaklah memprosesnya seobjektif mungkin. Sekalipun terhadap orang-orang yang sangat dibenci atau pernah menyakitinya.
Demi menjaga objektivitas, paling tidak ada dua prinsip yang penting untuk dikembangkan.
Pertama, proses pengusutan bersandar pada fakta-fakta, bukan sekadar asumsi maupun prasangka. Firman Allah SWT,
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak berprasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).
Dalam khazanah sunah, Rasulullah SAW pernah murka kepada Usamah bin Zaid RA yang bersikukuh membunuh seorang musuh dalam peperangan, sekalipun musuh tersebut telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Karena dalam asumsi Usatnah, syahadat tadi hanya kepura-puraannya belaka agar tak jadi dibunuh. Ketika alasan tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menegur Usamah,
“Apakah kamu sudah menyelami hatinya (sehingga tahu bahwa ia berpura-pura)? ” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Tuntunan di atas sejatinya hendak meluruskan bahwa asumsi tidak cukup memadai untuk dijadikan pijakan dalam pengusutan kasus. Setiap pengusutan harus sepenuhnya berdasarkan fakta. Pengusutan yang terlalu didominasi oleh asumsi akan mudah tergelincir dalam misjustifikasi.
Kedua, proses pengusutan mesti dijiwai oleh semangat menjernihkan masalah dan mengungkap kebenaran. Subjektivitas maupun sentimen yang dibiarkan mengintervensi, akan membuat potret keadilan semakin buram di tengah-tengah masyarakat. Padahal, tegaknya keadilan merupakan kunci kemuliaan suatu bangsa.
Dalam Kitab Zabur, Allah SWT pernah menegur Nabi Dawud AS ketika hendak memutuskan perselisihan antara dua suku. Tanpa disadari, sentimen kepada salah satu suku tersebut nyaris membuat Nabi Dawud berlaku tidak objektif. Sampai-sampai Allah SWT mengancam akan mencabut kenabiannya serta mencampakkan kemuliaan kaumnya.
Dalam versi Al-Quran Allah berfirman,
“Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan penguasa di bumi. Maka, putuskanlah perkara di antara manusia dengan adil, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena’ itu akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (QS. Shaad [38]: 26).
Menjaga Objektivitas