Banyak orang beranggapan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya 100% mutlak kepunyaannya. Sehingga tindakan apapun yang akan dilakukan terhadap hartanya itu, adalah haknya. Tidak seorang pun yang berhak melarangnya. Anggapan semacam ini jelas merupakan gambaran individualis yang sekuler, yang bertentangan secara diametral dengan konsep ajaran dalam Islam.
Kepemilikan Harta Kekayaan itu Tidak Mutlak
Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Itulah sebabnya, setiap ibadah dalam Islam, disamping bersifat pengabdian kepada Allah SWT, juga mengandung unsur mu’amalah atau intraksi sosial.
Diantaranya yang penting ialah unsur perikemanusiaan, seperti sifat penyantun, kasih sayang, tolong menolong, persaudaraan, kejujuran, pemaaf, keadilan dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Dalam menghadapi kehidupan ini Islam mengajarkan setiap pemeluknya untuk senantiasa menumbuhkan sifat dan sikap saling tolong, terutama dalam hal berbuat kebajikan dan ketakwaan, dan melarang untuk tolong-menolong dalam melakukan perbuatan dosa dan permusuhan.
Ini merupakan salah satu prinsip dasar dari ajaran Islam. Tolong menolong antara sesama manusia merupakan fitrah dan naluri setiap individu, sebab, walau bagaimana hebat dan kuasanya seseorang, ia tidak akan dapat membebaskan dirinya dari sifat ketergantungan kepada orang lain.
Al-Quran telah menggariskan dengan jelas, prinsip-prinsip hukum mengenai harta benda, yang pada hakekatnya merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemiliknya, antara lain kewajiban memelihara dan menjaga harta kekayaannya sebagai amanah dan titipan Allah SWT yang telah digariskan.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi[18]:46).
Pemilik harta dilarang menghambur-hamburkan hartanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi hal-hal yang menjurus kepada perbuatan maksiat dan durhaka kepada Allah.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isra’ [17]: 26).
Seseorang yang memiliki harta benda akan dituntut pertanggung-jawabannya di akhirat kelak, dari mana harta itu didapat dan dengan cara bagaimana ia memperolehnya, serta untuk apa harta itu dibelanjakan.
Dengan demikian para hartawan pada dasarnya dibebani kewajiban mencari harta dengan cara legal dan halal serta dengan cara-cara yang baik dan bersih, dan dalam mempergunakannya pun harus dilakukan secara baik dan halal pula.
Hal ini sesuai dengan penegasan Rasulullah Saw dalam salah satu sabdanya.
“Dua telapak kaki seorang hamba (manusia), tidak akan dapat digerakkan untuk melangkah pada hari Kiamat kelak, sebelum terlebih dahulu ditanyakan kepadanya tentang empat hak, … tentang harta kekayaannya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan“. (HR. Al-Bazzar dan Thabrani).
Bertitik tolak dari prinsip bahwa kepemilikan harta kekayaan itu tidak mutlak, maka menurut konsep Islam, setiap pribadi muslim pemilik harta, secara individu ia bertanggungjawab kepada Allah kelak di akhirat, dan secara sosial kemasyarakatan, ia bertanggungjawab kepada sesama anggota masyarakatnya.
Dan tanggungjawab sosial itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Ada yang bersifat wajib, seperti zakat harta dan zakat fitrah, ada yang merupakan keharusan seperti infak, sedekah dan wakaf.
Sewaktu Rasulullah baru saja berhijrah ke Yatsrib (Madinah), setelah melaksanakan sholat Jum’at berjamaah, beliau menyampaikan pidato di hadapan jamaah kaum muslimin, dalam pidatonya antara lain Beliau mengatakan:
“Maka barang siapa yang dapat memelihara mukanya (menyelamatkan dirinya) dari (siksa) api. neraka, meskipun hanya dengan sebutir buah korma, maka hendaklah ia lakukan. Dan barang siapa yang tidak mendapatkan (buah korma), maka hendaklah dengan kata-kata yang baik“.
Perkataan beliau tersebut mengandung pesan bahwa kebajikan itu adalah sebagai upaya memelihara diri dari siksa api neraka. Tidak dipermasalahkan berapa banyaknya dan tidak pula dipersoalkan apakah dalam bentuk materi ataukah bukan.
Bahkan, hanya dengan mengucapkan kata-kata yang baik-jika tidak mampu dalam bentuk materi sudah termasuk suatu kebajikan. Yang terpenting adalah hasrat dan kemauan hati yang mendorong untuk berbuat kebajikan kepada sesama makhluk dalam rangka terciptanya hubungan horizontal secara baik.
Kepemilikan Harta Kekayaan itu Tidak Mutlak